Jumat, 29 April 2011

Teknik Peliputan Jurnalistik

Aktivitas utama bidang keredaksian (editorial) di suatu media pemberitaan adalah melakukan peliputan. Peliputan ini melibatkan anggaran operasional yang cukup besar, apalagi jika harus melakukan peliputan ke luar kota atau ke luar negeri.

Berbagai bentuk peliputan khusus juga membutuhkan komitmen sumberdaya manusia, waktu, dan anggaran yang berkesinambungan. Liputan investigatif, liputan perang, atau liputan di daerah bencana (tsunami, gempa bumi, kecelakaan nuklir, dan sebagainya) adalah jenis liputan khusus semacam itu.

Berdasarkan berbagai pertimbangan di atas, diperlukan suatu perencanaan peliputan. Tujuan utama adanya perencanaan peliputan adalah memperoleh hasil peliputan yang berkualitas, layak diberitakan, dan syukur-syukur memperoleh perhatian besar dari khalayak media bersangkutan, yang ujungnya tentu berimplikasi pada iklan dan pemasukan keuangan.

Tujuan kedua yang juga penting adalah media dapat melakukan perencanaan anggaran, sebagai bagian dari langkah efisiensi operasional. Ini menjadi penting karena perusahaan media bukan cuma menjalankan fungsi sosial, tetapi --sebagai sebuah industri-- ia juga memerlukan profit untuk bertahan hidup dan berkembang. Di tengah iklim persaingan antarmedia yang semakin ketat, efisiensi anggaran merupakan langkah krusial.

Liputan yang Dijadwalkan dan Tidak Dijadwalkan

Ada dua macam jenis liputan. Pertama, liputan peristiwa yang bisa dijadwalkan dan bisa direncanakan. Kedua, liputan peristiwa yang tak bisa dijadwalkan dan tak bisa direncanakan.

Liputan peristiwa yang bisa dijadwalkan ada banyak jenis. Jika media Anda memperoleh undangan konferensi pers, peluncuran produk baru dari sebuah perusahaan, peliputan festival musik tertentu, atau undangan mengikuti lawatan Presiden ke daerah, itu adalah jenis liputan yang bisa dijadwalkan.

Sedangkan liputan peristiwa yang tak bisa dijadwalkan, misalnya: bencana alam (gempa bumi, tsunami, tanah longsor), kecelakaan (pesawat terbang jatuh, kereta api terguling, kapal tenggelam), kriminalitas (perampokan, pencurian, pemerkosaan), aksi terorisme, dan sebagainya.

Karena semua peristiwa ini tak bisa direncanakan (kecuali Anda seorang peramal jitu atau justru seorang penjahat yang merencanakan aksi kejahatan), yang bisa dilakukan media hanyalah menyiapkan jurnalis atau desk khusus, yang selalu bersiaga untuk mengantisipasi kejadian-kejadian dadakan.

Selama tidak ada kejadian yang luar biasa, jurnalis atau desk khusus ini bukan lantas menganggur, tetapi mereka disuruh membantu melakukan liputan rutin biasa. Atau, bisa juga mereka didedikasikan untuk melakukan liputan investigatif, yang memang butuh waktu lama.

Perencanaan Peliputan Jangka Pendek dan Jangka Panjang

Dari segi waktu, perencanaan peliputan mengenal perencanaan jangka pendek dan jangka panjang. Perencanaan liputan untuk seminggu atau sebulan ke depan, termasuk perencanaan jangka pendek. Sedangkan perencanaan peliputan untuk setahun ke depan, merupakan perencanaan jangka panjang. Rentang setahun ini sudah maksimal.

Mengapa tidak direncanakan untuk dua tahun, atau bahkan lima tahun ke depan? Berbeda dengan rancangan APBN (Anggaran Pembelian dan Belanja Negara), yang menyangkut prediksi pertumbuhan ekonomi dan inflasi beberapa tahun ke depan, yang bisa dihitung dalam angka persen, liputan berita terlalu dinamis dan terlalu tak terduga, untuk bisa direncanakan sampai lebih dari setahun ke depan. Perencanaan liputan semacam itu juga tidak praktis dan tidak efektif, karena pasti akan mengalami banyak revisi, perubahan, dan pergeseran.

Perencanaan Peliputan Berdasarkan Momen Hari Besar

Perencanaan peliputan dapat dilakukan dengan mengacu pada momen-momen tertentu, yang sudah diketahui sebelumnya. Misalnya, liputan yang terkait dengan hari-hari besar dan hari libur nasional. Perencanaan liputan untuk bulan puasa dan Idul Fitri, Natal, Tahun Baru, Imlek, dan sebagainya sudah bisa dilakukan jauh-jauh hari sebelumnya, karena hari-hari besar itu sudah tertera di kalender.

Ada juga momen-momen lain yang lebih khusus, seperti: Hari Wanita Internasional (8 Maret), Hari Pendidikan Nasional (2 Mei), Hari Lingkungan Hidup Sedunia (5 Juni), HUT Kota Jakarta (22 Juni), Hari Bhayangkara (1 Juli), HUT TNI (5 Oktober), Hari Guru (25 November), dan Hari Hak Asasi Manusia (10 Desember).

Bahkan media bisa menyiapkan liputan khusus untuk mengenang atau melakukan refleksi atas momen-momen istimewa, seperti bencana tsunami Aceh, revolusi Mei (jatuhnya rezim Soeharto), hari kelahiran Bung Karno, kasus bom Bali, dan sebagainya.

Di bawah ini adalah daftar (sebagian) tanggal, yang terkait dengan momen, peringatan, atau peristiwa tertentu, meski mungkin tidak harus dianggap sebagai hari besar nasional:

1 Januari Hari Perdamaian Dunia

5 Januari HUT Korps Wanita Angkatan Laut

25 Januari Hari Gizi

25 Januari Hari Kusta Internasional

9 Februari Hari Pers Nasional

1 Maret Hari Kehakiman Indonesia

6 Maret Hari Kostrad

8 Maret Hari Wanita Internasional

10 Maret Hut PARFI

23 Maret Hari Metereologi Sedunia

30 Maret Hari Film Indonesia

1 April HUT Bank Dunia

6 April Hari Nelayan Indonesia

7 April Hari Kesehatan Indonesia

9 April Hari Penerbangan Nasional

19 April Hari HANSIP

21 April Hari Kartini

24 April Hari Angkutan Nasional

27 April Hari Lembaga Pemasyarakatan Indonesia

1 Mei Hari Buruh Internasional

2 Mei Hari Pendidikan Nasional

5 Mei Hari Lembaga Sosial Desa

8 Mei Hari Palang Merah Internasional

11 Mei Hari POM TNI

17 Mei Hari Buku Nasional

20 Mei Hari Kebangkitan Nasional

1 Juni Hari Lahirnya Pancasila

3 Juni Hari Pasar & Modal Indonesia

5 Juni Hari Lingkungan Hidup Sedunia

21 Juni Hari Krida Pertanian

22 Juni HUT Kota Jakarta

24 Juni Hari Bidan Indonesia

29 Juni Hari keluarga Nasional

1 Juli Hari Bhayangkara

5 Juli Hari Bank Indonesia

9 Juli Hari Peluncuran Satelit Palapa

12 Juli Hari Koperasi Indonesia

22 Juli Hari Kejaksaan

23 Juli Hari Anak Nasional

8 Agustus Hari ASEAN

10 Agustus Hari Veteran Nasional

14 Agustus Hari Pramuka

17 Agustus Hari Proklamasi Kemerdekaan Indonesia

18 Agustus Hari Konstitusi Indonesia

19 Agustus Hari Departemen Luar Negeri

21 Agustus Hari Maritim Nasional

24 Agustus HUT TVRI

1 September Hari POLWAN

4 September Hari Pelanggan Nasional (mulai 2003)

8 September Hari Aksara

8 September Hari Pamong Praja

9 September Hari Olahraga Nasional

11 September Hari Radio Republik Indonesia

17 September Hari Perhubungan Nasional

24 September Hari Agraria Nasional / Hari Tani

28 September Hari Kereta Api

29 September Hari Sarjana

30 September Hari Pemberontakan PKI

1 Oktober Hari Kesaktian Pancasila

5 Oktober HUT Tentara Nasional Indonesia

9 Oktober Hari Surat Menyurat Internasional

14 Oktober Hari Pangan Sedunia

16 Oktober Hari Parlemen RI

24 Oktober HUT PBB

28 Oktober Hari Sumpah Pemuda

30 Oktober Hari Keuangan

10 November Hari Pahlawan

12 November Hari Kesehatan Nasional

14 November Hari BRIMOB

21 November Hari Pohon

25 November Hari Guru / HUT PGRI

1 Desember Hari AIDS sedunia

4 Desember Hari Artileri

9 Desember Hari Armada RI

10 Desember Hari HAM

12 Desember Hari Transmigrasi

15 Desember Hari Infantri

22 Desember Hari Ibu

22 Desember Hari Sosial

22 Desember Hari Korps Wanita Angkatan Darat

Perencanaan Peliputan Berdasarkan Isu yang Berkembang

Staf redaksi harus peka dan kritis mengamati isu-isu yang berkembang dalam masyarakat. Jika ada isu atau tren yang penting dan mempengaruhi kehidupan masyarakat banyak, maka staf redaksi harus sigap dalam mengarahkan peliputan. Bahkan, jika perlu harus siap mengubah prioritas pemberitaan, karena ada isu-isu yang dipandang lebih mendesak.

Kasus penculikan anak yang tiba-tiba marak, banyaknya kasus tenaga kerja Indonesia yang disiksa atau terancam hukuman mati di luar negeri, kasus terorisme yang memakan korban besar, terungkapnya korupsi besar di lingkungan pejabat istana, kasus penggelapan dana nasabah di sebuah bank asing besar, dan lain-lain, semua itu bisa mengubah arah pemberitaan.

Oleh karena itu, harus dipahami bahwa perencanaan peliputan tidak selalu mengikuti garis linear, seperti rencana peliputan berdasarkan momen hari besar nasional. Justru “ketidakteraturan” dan adanya “unsure kejutan” inilah yang membuat dunia jurnalistik sangat dinamis, menantang, dan menarik diterjuni.

Perencanaan Peliputan Berdasarkan Pertimbangan Sirkulasi

Bagi media cetak seperti Koran Jakarta, Kompas, Republika, Media Indonesia, Suara Pembaruan, Koran Tempo, dan sebagainya, tak bisa tidak jika ingin memperbesar sirkulasinya maka mereka harus memperbesar cakupan wilayah, yang menjadi sasaran utama distribusi medianya.

Wilayah yang menjadi sasaran itu tentunya adalah wilayah yang memiliki potensi pembaca cukup besar, baik dilihat berdasarkan populasi ataupun daya belinya. Agar media cetak itu diapresiasi dan dikonsumsi di wilayah bersangkutan, media perlu mengangkat isu-isu atau pemberitaan yang terkait dengan kepentingan atau minat pembaca di wilayah bersangkutan.

Jika sebuah media cetak nasional ingin memperluas sirkulasi di wilayah Jawa Timur, misalnya, media itu tentu harus memperbanyak porsi berita yang terkait dengan Jawa Timur. Mulai dari aspek sosial, ekonomi, politik, budaya, dan sebagainya.

Harian Kompas pernah bersaing ketat dengan Jawa Pos, yang sebagai koran lokal memiliki basis sangat kuat di Jawa Timur. Untuk mengatasi dominasi Jawa Pos di Jawa Timur, Kompas menyediakan halaman khusus berisi berita-berita yang terkait dengan Jawa Timur. Pembaca Kompas di wilayah Jawa Timur akan menemukan sisipan halaman khusus tersebut. Kelompok Kompas-Gramedia kemudian juga mendirikan koran lokal Surya, yang berbasis di Surabaya, sebagai pesaing Jawa Pos.

Perencanaan Peliputan Berdasarkan Pertimbangan Iklan (Marketing)

Tren yang menguat dalam bisnis media, yang diwujudkan dalam mekanisme kerja newsroom (keredaksian) pada beberapa tahun terakhir ini, adalah semakin tipisnya sekat atau batas antara bidang keredaksian dan bidang usaha/bisnis (mencakup pemasaran dan iklan). Terdapat koordinasi atau sinergi yang semakin erat antara kedua bidang tersebut, yang sebelumnya seolah-olah jalan sendiri-sendiri dan enggan bersinggungan.

Sebagai contoh, sejumlah suratkabar memiliki rubrik yang tampil berkala, katakanlah, setiap dua atau tiga minggu sekali. Tak jarang untuk rubrik itu disediakan beberapa halaman khusus. Halaman khusus itu, misalnya, berisi mengenai otomotif, teknologi informasi, pendidikan, wisata, dan sebagainya.

Jadi, sudah dimasukkan dalam perencanaan peliputan bahwa pada hari Kamis, minggu ketiga bulan depan, akan ada rubrik dan halaman khusus otomotif. Sejumlah staf redaksi pun ditugaskan untuk menyiapkan liputan yang terkait dengan isu-isu otomotif.

Misalnya: liputan dampak tsunami dan rusaknya fasilitas produksi otomotif di Jepang terhadap pertumbuhan industri otomotif (mobil-mobil Jepang) di Indonesia. Untuk kepentingan para pengguna mobil Jepang di Indonesia, yang prihatin pada ketersediaan suku cadang bagi mobilnya, juga disiapkan artikel tersendiri soal suku cadang. Ada juga artikel tentang peluang industri lokal, dalam membuat suku cadang pengganti untuk mobil-mobil merek Jepang.

Pada saat yang sama, bagian pemasaran dan iklan di media bersangkutan giat mencari iklan, yang terkait dengan industri otomotif, untuk dimuat di halaman khusus otomotif tersebut. Mulai dari iklan mobil, ban, pelumas mesin, asesoris mobil, dan sebagainya.

Tak jarang, pemilihan tanggal untuk kemunculan halaman khusus ini juga dikaitkan dengan event besar tertentu, seperti akan diselenggarakannya Pameran Otomotif Nasional 2011, atau Pameran Komputer dan Teknologi Informasi 2011, dan hal-hal lain semacam itu. Bedanya dengan event hari besar nasional yang sudah diuraikan sebelumnya, event yang dimaksud di sini adalah event yang bersifat komersial.

Di sini terlihat bahwa pilihan topik dan isi liputan memang sengaja dilakukan berkoordinasi dengan bagian pemasaran/iklan, meski liputan itu tetap menggunakan kaidah jurnalistik yang biasa (bukan iklan terselubung). Tetapi, tidak terhindarkan, bisa terjadi konflik kepentingan internal, di mana staf bagian pemasaran/iklan akan sangat berkeberatan jika pihak redaksi ingin memuat artikel, yang kritis terhadap industri otomotif tertentu.

Artikel kritis dikhawatirkan akan merusak peluang iklan otomotif di media bersangkutan. Padahal, keberhasilan staf pemasaran/iklan diukur dari seberapa banyak iklan dan pemasukan keuangan yang bisa ia dapatkan. Sedangkan, staf redaksi dan para reporter beranggapan, integritas mereka sebagai jurnalis harus ditunjukkan dengan sikap kritis dan independen dalam pemberitaan. Mereka tak mau semata-mata menjadi corong pemasang iklan.

Kita bisa bicara dan berdebat panjang lebar tentang pengaruh iklan pada pemberitaan media, dan tarik-menarik antara aspek idealisme jurnalistik dan aspek komersial industri media. Tetapi hal itu membutuhkan pembahasan tersendiri dan sudah di luar kapasitas tulisan ini.

Teknik dan Mekanisme Peliputan Jurnalistik

Teknik reportase atau teknik peliputan berita merupakan hal mendasar yang perlu dikuasai para jurnalis. Namun, membahas teknik reportase, berarti juga membahas bagaimana cara media bekerja, sebelum mereka memutuskan untuk meliput suatu acara, kegiatan atau peristiwa.

Proses pembuatan berita

Proses pembuatan berita pada prinsipnya tak banyak berbeda di semua media. Di media yang sudah mapan, biasanya telah dibuat semacam prosedur operasional standar (SOP) dalam pembuatan berita, untuk menjaga kualitas berita yang dihasilkan.

Proses pembuatan berita biasanya dimulai dari rapat redaksi, yang juga merupakan jantung operasional media pemberitaan. Rapat redaksi merupakan kegiatan rutin, yang penting bagi pengembangan dan peningkatan kualitas berita yang dihasilkan.

Dalam rapat redaksi ini, para reporter, juru kamera, redaktur, bisa mengajukan usulan-usulan topik liputan. Usulan itu sendiri bisa berasal dari berbagai sumber. Misalnya: Undangan liputan dari pihak luar, konferensi pers, siaran pers, berita yang sudah dimuat atau ditayangkan di media lain, hasil pengamatan pribadi si jurnalis, masukan dari narasumber/informan, dan sebagainya.

Sasaran Rapat Redaksi:

Untuk mengkoordinasikan kebijakan redaksi dan liputan.

  1. Untuk menjaga kelancaran komunikasi antar staf redaksi (komunikasi antara reporter, juru kamera, staf riset, redaktur, dan sebagainya).
  2. Untuk memecahkan masalah yang timbul sedini mungkin (potensi hambatan teknis dalam peliputan, keterbatasan sarana/alat untuk peliputan, keamanan dalam peliputan, dan sebagainya)
  3. Untuk menghasilkan hasil liputan yang berkualitas.

Dari rapat redaksi ini, ditentukan topik yang mau diliput, sekaligus ditunjuk reporter (plusjuru kamera) yang harus meliputnya. Dalam pembahasan yang lebih rinci, bisa dibahas juga angle (sudut pandang) yang dipilih dari topik liputan bersangkutan, serta narasumber yang harus diwawancarai. Untuk kelengkapan data, staf riset bisa diminta mencari data tambahan guna menyempurnakan hasil liputan nantinya.

Sesudah tugas dibagikan secara jelas dalam rapat redaksi, dan redaktur memberi brifing pada reporter, berbekal informasi dan arahan tersebut, si reporter pun meluncur ke lapangan. Dalam proses peliputan, bila ada masalah atau hambatan dalam liputan di lapangan,si reporter dapat berkonsultasi langsung dengan redaktur yang menugaskannya. Hambatan itu, misalnya, narasumber menolak diwawancarai, atau peristiwa yang diliput ternyata tidak seperti yang dibayangkan.

Setelah selesai meliput, si reporter kembali ke kantor, dan melaporkan hasil liputannya kepada redaktur yang memberi penugasan. Sang redaktur lalu membuat penilaian, apakah hasil liputan itu sudah sesuai dengan rancangan awal, yang sebelumnya ditetapkan dalam rapat redaksi. Apakah ada hal-hal yang baru, yang mungkin lebih menarik diangkat dalam penulisan. Atau, sebaliknya, hasil liputan ternyata justru biasa saja, tidak sehebat atau sedramatis yang diharapkan.

Redaktur juga melihat, apakah ada hal yang kurang terliput oleh si reporter. Apakah hasil liputan sudah lengkap? Redaktur juga mempertimbangkan asas keberimbangan dan proporsionalitas dalam isi pemberitaan. Misalnya, apakah jumlah narasumber yang diwawancarai sudah cukup? Apakah narasumber yang diwawancarai itu sudah mewakili berbagai kepentingan yang terlibat?

Berdasarkan berbagai pertimbangan itu, redaktur mengusulkan di mana berita itu akan ditempatkan. Di sejumlah media, ada rapat khusus (kadang-kadang disebut rapat budgeting, meski ini tidak ada hubungannya dengan uang) untuk membahas penempatan berita. Namun, dalam rapat ini, reporter tidak ikut serta karena sudah diwakili oleh redakturnya. Di rapat ini dibahas, apakah hasil liputan itu layak untuk berita utama di halaman pertama, atau sekadar layak untuk dimuat pendek di halaman dalam, atau justru tidak layak dimuat sama sekali.

Sesudah jelas, berita itu akan dimuat di halaman mana, seberapa panjangnya, serta penekanan pada aspek yang mana, si reporter disuruh menuliskannya. Hasil tulisan diserahkan kepada redaktur terkait, untuk disunting dari segi bahasa dan isinya.

Sebelum berita ini dimuat, kadang-kadang harus melalui proses penyuntingan bahasa oleh editor atau penyunting yang khusus memeriksa gaya bahasa. Jika isi berita itu dianggap layak jadi berita utama, biasanya redaktur pelaksana atau pemimpin redaksi juga bisa ikut terlibat.

Kemudian, berita pun dimuat. Demikianlah proses pembuatan berita pada umumnya di media cetak. Khusus untuk media televisi (audio-visual), faktor ketersediaan gambar ikut berpengaruh, bahkan sangat berpengaruh, mengenai apakah suatu item berita akan ditayangkan atau tidak. Kalaupun ditayangkan, format penayangannya juga banyak tergantung pada ketersediaan gambar.

Menggali Informasi

Tugas seorang reporter pada dasarnya adalah mengumpulkan informasi, yang membantu publik untuk memahami peristiwa-peristiwa yang mempengaruhi kehidupan mereka. Penggalian informasi ini membawa sang reporter untuk melalui tiga lapisan atau tahapan peliputan:

Lapisan pertama, adalah fakta-fakta permukaan. Seperti: siaran pers, konferensi pers, rekaman pidato, dan sebagainya. Lapisan pertama ini adalah sumber bagi fakta-fakta, yang digunakan pada sebagian besar berita. Informasi ini digali dari bahan yang disediakan dan dikontrol oleh narasumber. Oleh karena itu, isinya mungkin masih sangat sepihak. Jika reporter hanya mengandalkan informasi lapisan pertama, perbedaan antara jurnalisme dan siaran pers humas menjadi sangat tipis.

Lapisan kedua, adalah upaya pelaporan yang dilakukan sendiri oleh si reporter. Di sini, sang reporter melakukan verifikasi, pelaporan investigatif, liputan atas peristiwa-peristiwa spontan, dan sebagainya. Di sini, peristiwa sudah bergerak di luar kontrol narasumber awal. Misalnya, ketika si reporter tidak mentah-mentah menelan begitu saja keterangan Humas PT. Lapindo Brantas, tetapi si reporter datang ke lokasi meluapnya lumpur, dan mewawancarai langsung para warga korban lumpur di Sidoarjo, Jawa Timur.

Lapisan ketiga, adalah interpretasi (penafsiran) dan analisis. Di sini si reporter menguraikan signifikansi atau arti penting suatu peristiwa, penyebab-penyebabnya, dan konsekuensinya. Publik tidak sekadar ingin tahu apa yang terjadi, tetapi mereka juga ingin tahu bagaimana dan mengapa peristiwa itu terjadi. Apa makna peristiwa itu bagi mereka, dan apa yang mungkin terjadi sesudahnya (dampak susulan dari peristiwa tersebut).

Seorang reporter harus selalu berusaha mengamati peristiwa secara langsung, ketimbang hanya mengandalkan pada sumber-sumber lain, yang kadang-kadang berusaha memanipulasi atau memanfaatkan pers. Salah satu taktik yang dilakukan narasumber adalah mengadakan media event, yakni suatu tindakan yang sengaja dilakukan untuk menarik perhatian media.

Verifikasi, pengecekan latar belakang, observasi langsung, dan langkah peliputan yang serius bisa memperkuat, dan kadang-kadang membenarkan bahan-bahan awal yang disediakan narasumber.


TEKNIK WAWANCARA DAN MENGATASI

HAMBATAN DALAM WAWANCARA

Apakah yang dinamakan wawancara itu? Wawancara adalah tanya-jawab dengan seseorang untuk mendapatkan keterangan atau pendapatnya tentang suatu hal atau masalah. Wawancara sering dihubungkan dengan pekerjaan jurnalistik untuk keperluan penulisan berita yang disiarkan dalam media massa. Namun wawancara juga dapat dilakukan oleh pihak lain untuk keperluan, misalnya, penelitian atau penerimaan pegawai.


Orang yang mewawancarai dinamakan pewawancara (interviewer) dan orang yang diwawancarai dinamakan pemberi wawancara (interviewee) atau disebut juga responden. Seperti percakapan biasa, wawancara adalah pertukaran informasi, opini, atau pengalaman dari satu orang ke orang lain.

Dalam sebuah percakapan, pengendalian terhadap alur diskusi itu bolak-balik beralih dari satu orang ke orang yang lain. Meskipun demikian, jelas bahwa dalam suatu wawancara si pewawancara adalah yang menyebabkan terjadinya diskusi tersebut dan menentukan arah dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan.


Tujuan Wawancara

Tujuan seorang reporter melakukan wawancara adalah mengumpulkan informasi yang lengkap, akurat, dan adil (fair). Seorang pewawancara yang baik mencari sebuah pengungkapan atau wawasan (insight), pikiran atau sudut pandang yang menarik, yang cukup bernilai untuk diketahui. Jadi bukan sesuatu yang sudah secara umum didengar atau diketahui.

Perbedaan penting antara wawancara dengan percakapan biasa adalah wawancara bertujuan pasti: menggali permasalahan yang ingin diketahui untuk disampaikan kepada khalayak pembaca (media cetak), pendengar (radio), atau pemirsa (televisi). Namun berbeda dengan penyidik perkara atau interogator, wartawan tidak memaksa tetapi membujuk orang agar bersedia memberikan keterangan yang diperlukan.


Dalam proses wawancara, si pewawancara atau wartawan bersangkutan benar-benar harus meredam egonya, dan pada saat yang sama harus melakukan pengendalian tersembunyi. Ini adalah sesuatu yang sulit. Pernahkah Anda melihat dalam suatu acara talkshow di televisi, di mana si pewawancara malah bicara lebih banyak dan seolah-olah ingin kelihatan lebih pintar daripada orang yang diwawancarai? Ini adalah contoh yang menunjukkan, si pewawancara gagal meredam egonya dan dengan demikian memperkecil peluang bagi orang yang diwawancarai untuk mengungkapkan lebih banyak.



Dalam proses wawancara, si pewawancara memantau semua yang diucapkan oleh dan bahasa tubuh dari orang yang diwawancarai, sambil berusaha menciptakan suasana santai dan tidak-mengancam, yakni suasana yang kondusif bagi berlangsungnya wawancara.

Dalam prakteknya, berbagai pikiran muncul di benak si pewawancara ketika wawancara sedang berlangsung. Seperti: Apa yang harus saya tanyakan lagi? Bagaimana nada bicara orang yang diwawancarai ini? Dari gerak tubuh dan nada suaranya, apakah terlihat ia bicara jujur atau mencoba menyembunyikan sesuatu?

Sifat Wawancara

Seorang pewawancara secara sekaligus melakukan berbagai hal: mendengarkan, mengamati, menyelidiki, menanggapi, dan mencatat. Kadang-kadang ia seperti seorang penginterogasi, kadang-kadang secara tajam ia menyerang dengan menunjukkan kesalahan-kesalahan orang yang diwawancarai, kadang-kadang ia mengklarifikasi, kadang-kadang pula ia seperti pasif atau menjadi pendengar yang baik. Seberapa sukses suatu wawancara tergantung pada kemampuan melakukan kombinasi berbagai keterampilan yang ini secara pas, sesuai dengan tuntutan situasi dan orang yang diwawancarai.


Sifat wawancara bermacam-macam, tergantung dari informasi apa yang diinginkan si pewawancara dan bagaimana situasi serta kondisi yang dihadapi orang yang diwawancarai. Sifat wawancara bisa sangat bervariasi, dari yang biasa-biasa saja sampai yang antagonistik. Dari yang mempertunjukkan luapan perasaan sampai yang bersifat defensif dan menutup diri.

Jika seorang wartawan mewawancarai seorang pejabat pemerintah tentang keberhasilan salah satu programnya, tentu si wartawan akan mendapat tanggapan yang baik dan panjang-lebar. Namun jika si wartawan mencoba mengungkap praktek korupsi yang diduga dilakukan oleh pejabat bersangkutan, tentu si pejabat akan bersikat defensif bahkan tertutup.


Wartawan yang baik harus mengerti bagaimana cara “memegang” orang yang diwawancarai dan menangani situasi. Wartawan harus bisa merasakan, apa yang harus dilakukan pada momen tertentu ketika berlangsung wawancara –kapan ia harus bersikap lembut, kapan harus ngotot atau bersikap keras, kapan harus mendengarkan tanpa komentar, dan kapan harus memancing dengan pertanyaan-pertanyaan tajam.

Persiapan Wawancara


Banyak orang sering meremehkan tahapan awal ini, padahal tanpa persiapan yang baik wawancara tidak akan menghasilkan sesuai harapan. Persiapan teknis, seperti tape recorder untuk merekam wawancara, notes, kamera, dan sebagainya. Wartawan umumnya menggunakan catatan tertulis (notes) dan tidak boleh terlalu tergantung pada alat elektronik. Tapi alat elektronik seperti tape recorder cukup penting untuk mengecek ulang, apabila ada yang terlupa atau ada informasi yang meragukan, sehingga dikhawatirkan bisa salah kutip.


Di Indonesia, banyak kasus di mana pejabat pemerintah mengingkari lagi pernyataan yang diberikan kepada wartawan, sesudah pernyataan yang dimuat media massa itu menimbulkan reaksi keras di masyarakat. Wartawan disalahkan dan dituding “salah kutip,” bahkan diancam akan diperkarakan di pengadilan.

Untuk menghindari risiko ini, banyak gunanya jika wawancara itu direkam dan setiap saat dibutuhkan bisa diputar kembali. Rekaman elektronik memang belum bisa menjadi alat bukti di pengadilan, namun bisa menjadi indikator tentang siapa yang benar dalam kontroversi tuduhan “wartawan salah kutip” tadi.


Selain persiapan teknis, yang harus diingat pertama kali dalam liputan investigasi adalah kita tidak memulai wawancara tentang suatu masalah dari nol. Sebelum mengatur waktu dan tempat pertemuan dengan narasumber untuk wawancara, wartawan sendiri harus jelas tentang beberapa hal:

Persoalan apa yang mau ditanyakan? Apakah persoalan itu menyangkut korupsi yang diduga dilakukan seorang pejabat pemerintah, atau tentang pencemaran lingkungan yang diduga dilakukan sebuah perusahaan pertambangan, si wartawan harus memiliki pemahaman dasar tentang permasalahan tersebut. Bila pemberi wawancara melihat wartawan itu tidak menguasai permasalahan, ia mungkin enggan memberi informasi lebih lanjut.


Menentukan Nara Sumber

Setelah wartawan yakin telah menguasai permasalahan, langkah berikutnya adalah menentukan siapa sumber yang akan diwawancarai. Orang dapat bermanfaat sebagai pemberi wawancara karena sejumlah alasan. Pemberi wawancara yang ideal adalah yang memenuhi semua faktor ini. Untuk proyek peliputan yang panjang, faktor-faktor ini menjadi penting:


Kemudahan diakses (accessibility). Apakah wartawan dengan mudah dapat mewawancarai orang ini? Jika tidak mudah dihubungi, berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk bisa menghubungi? Apakah wawancara harus dilakukan lewat telepon atau tertulis, ketimbang bertemu muka langsung? Jika narasumber ini bersifat vital bagi peliputan, wartawan harus realistis tentang prospek wawancara ini.


Reliabilitas (reliability). Apakah orang ini bisa dipercaya sebelumnya? Apakah informasi yang diberikan bisa dibuktikan benar oleh sumber-sumber independen lain? Apakah narasumber ini pakar yang betul-betul mengetahui permasalahan? Apa latar belakang kepentingannya sehingga ia bersedia diwawancarai? Wartawan harus hati-hati, karena ia akan terlihat bodoh jika melaporkan isu atau desas-desus yang belum jelas kebenarannya.


Akuntabilitas (accountability). Apakah orang ini secara langsung bertanggungjawab atas informasi yang diinginkan wartawan atau atas tindakan-tindakan yang sedang diinvestigasi? Apakah ada sumber lain yang lebih punya otoritas tanggungjawab langsung ketimbang orang ini? Berapa orang sebenarnya yang diwakili oleh seseorang yang menyebut diri sebagai juru bicara?

Dapat-tidaknya dikutip (quotability). Mewawancarai seorang pakar yang fasih dan punya informasi lengkap mungkin dapat mengembangkan tulisan, seperti seorang pejabat publik yang blak-blakan dan suka membuat pernyataan-pernyataan kontroversial. Para tokoh masyarakat atau selebritis biasanya sudah tahu, ucapan macam apa yang suka dikutip wartawan. Sedangkan orang awam biasanya tidak ahli dalam “merekayasa” komentar yang bagus buat dikutip wartawan.

Mengatur Waktu dan Tempat Wawancara


Sesudah jelas materi yang mau ditanyakan dan orang yang akan diwawancarai, ditentukanlah waktu dan tempat untuk wawancara. Wawancara bisa dilakukan di rumah atau kantor nara sumber. Jika di rumah, suasananya akan lebih santai dan informal. Jika di kantor, suasananya akan lebih formal.


Namun seringkali, rumah atau pun kantor bukanlah empat yang pas untuk wawancara investigatif. Jika narasumber akan memberikan informasi yang sifatnya rahasia, maka kemungkinan besar ia tidak ingin diketahui oleh publik atau atasannya telah menyampaikan informasi tersebut kepada pers. Hal itu karena bisa berisiko pada keselamatan dirinya, keluarganya, jabatannya, atau karir politiknya. Maka harus diatur pertemuan di tempat dan waktu tertentu secara khusus.


Pengaturan waktu dan tempat di atas berlangsung dalam kondisi “normal”, artinya nara sumber memang sudah bersedia diwawancarai. Namun ada kalanya narasumber sengaja menghindar, mungkin karena merasa terancam keselamatannya atau ia sendiri mungkin terlibat dalam permasalahan. Dalam kondisi demikian, wartawanlah yang harus aktif melacak lokasi keberadaan narasumber, mengejar, mencegat narasumber tersebut untuk diwawancarai.


Wartawan jangan mudah patah semangat dan jangan mundur menghadapi penolakan, perlakuan tidak ramah, atau sikap dingin dari sumber berita. Perlakuan semacam ini kadang-kadang diberikan oleh seorang pejabat pemerintah kepada wartawan baru.


SM. Ali, mantan Redaktur Pelaksana Bangkok Post yang berasal dari Banglades menyatakan, berdasarkan pengalamannya mewawancarai sejumlah pejabat dan pemimpin nasional di Asia, selalu ada kesempatan pertemuan lain. Banyak pejabat yang pada pertemuan pertama sama sekali tidak komunikatif, tetapi mereka kemudian luar biasa ramahnya pada pertemuan-pertemuan berikutnya.


Narasumber yang Enggan Diwawancarai


Namun ada juga narasumber yang memang betul-betul tidak ingin diwawancarai, walaupun mereka tidak terang-terangan mengatakan “tidak.” Yang mereka lakukan adalah menghindar dengan cara tidak menjawab telepon, atau meminta sekretarisnya untuk mengatakan “Bapak sedang ke luar kantor,” jika ada permintaan wawancara dari wartawan. Sehingga wartawan merasa dipermainkan atau diremehkan.


Jika wartawan menghadapi narasumber yang enggan diwawancarai, padahal sumber itu sangat vital bagi peliputan yang sedang dilakukan, wartawan tersebut punya tiga pilihan: Pertama, menuliskan hasil liputan tanpa wawancara itu. Kedua, menuliskan hasil liputan dengan tambahan keterangan bahwa setelah berusaha dihubungi berulang kali, narasumber tetap tidak menjawab panggilan telepon, pesan fax, atau surat permintaan wawancara. Ketiga, meyakinkan narasumber untuk bersedia diwawancarai.


Orang yang tak mau diwawancarai mungkin menolak wawancara karena beberapa alasan, seperti:

1. Waktu. Calon pemberi wawancara, yang mengatakan “Saya tak punya waktu untuk wawancara,” sebenarnya ingin memanfaatkan waktunya untuk mengerjakan sesuatu yang lain ketimbang diwawancarai oleh wartawan. Mereka memperkirakan lama waktu yang dihabiskan untuk wawancara, dan menghitung manfaat wawancara itu dibandingkan dengan jika waktunya dipakai untuk kepentingan lain.


2. Rasa bersalah. Orang mungkin tak mau diwawancarai karena takut kelepasan bicara, mengakui telah melakukan suatu kesalahan, atau mengatakan sesuatu yang sebenarnya tak ingin mereka ungkapkan.


3. Kecemasan. Seorang pemalu mungkin takut pada pengalaman diwawancarai. Ketakutan pada sesuatu yang belum dikenal membuat mereka cenderung menolak risiko pengalaman baru diwawancarai.

4. Perlindungan. Orang mungkin menolak diwawancarai karena ingin melindungi keluarga, teman, atau orang lain yang dicintai, atau orang lain yang diketahui melakukan perbuatan salah. Calon pemberi wawancara mungkin juga takut dikaitkan dengan pernyataan atau komentar yang bisa mempermalukan atau mengecam pihak lain.


5. Ketidaktahuan. Calon pemberi wawancara bisa jadi menolak wawancara, karena tak mau mengakui bahwa dia tidak tahu apa-apa atau hanya tahu sedikit sekali tentang masalah yang dijadikan fokus wawancara.


6. Mempermalukan. Orang mungkin menolak wawancara karena masalah yang mau dipertanyakan itu membuat dirinya merasa malu, risih, atau dianggap terlalu intim dan pribadi sifatnya.

7. Tragedi. Orang yang baru mengalami musibah berat mungkin tidak ingin mengungkapkan masalahnya itu kepada umum. Padahal wartawan dengan tulisannya akan mengubah masalah yang bersifat pribadi itu menjadi konsumsi publik.


Pelaksanaan Wawancara


Pertama yang harus dilakukan oleh wartawan adalah memberi rasa aman kepada narasumber, agar ia merasa santai, tenang, dan mau terbuka memberi informasi. Wartawan harus memberi keyakinan kepada narasumber bahwa wartawan tersebut dan medianya itu bisa dipercaya, dan mampu menyimpan rahasia (terutama jika narasumber tak ingin identitasnya dimuat di media massa).

Kepercayaan dari pemberi wawancara ini sangat penting. Kalau pewawancara tidak memperoleh kepercayaan dari sumber berita, maka informasi yang ia peroleh tidak akan lebih dari keterangan rutin, ulangan beberapa fakta yang sudah sering dimuat, pernyataan normatif yang sudah tidak perlu diperdebatkan, atau jawaban yang sifatnya mengelak belaka.


Sesudah penciptaan suasana kondusif itu, dimulailah wawancara dengan pertanyaan-pertanyaan pembuka. Pertanyaan pembuka ini sifatnya masih memberi rasa aman dan kepercayaan pada narasumber. Pertanyaan inti dan tajam, yang berisiko merusak suasana wawancara, harus disimpan dan baru dilontarkan pada momen yang tepat. Dari tanya-jawab awal, wartawan sudah bisa meraba bagaimana kondisi mental dan emosional narasumber, sehingga wartawan bisa memilih momen yang tepat untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan kunci tersebut.


Pewawancara mengikuti arah pertanyaannya sampai yakin tidak ada yang dapat digali lagi. Selama wawancara, pertanyaan sebaiknya disusun dalam kalimat-kalimat yang pendek dan cermat. Hindarkan pertanyaan yang tidak langsung berhubungan dengan masalah yang ingin diinvestigasi, dan jangan bertele-tele.


Untuk meluaskan komentar dan pernyataan dari orang yang diwawancarai, wartawan dapat mengajukan pertanyaan terbuka (open-ended). Sedangkan untuk memperoleh informasi yang spesifik dan rinci tentang sesuatu hal, harus diajukan pertanyaan tertutup (closed-ended).
Pertanyaan terbuka –biasanya pertanyaan “bagaimana” dan “mengapa”—memungkinkan pemberi wawancara berspekulasi, untuk menawarkan opini, pengamatan, atau deskripsi.


Pewawancara yang mengajukan pertanyaan terbuka berarti menawarkan peluang bagi komentar dan arah dari pemberi wawancara. Pertanyaan terbuka itu, misalnya, “Bagaimana pandangan Anda tentang tuduhan bahwa pabrik Anda mencemarkan lingkungan?” atau “Mengapa Anda begitu yakin bahwa pabrik Anda tidak mencemarkan lingkungan?”


Pertanyaan terbuka mengundang tanggapan yang lebih lengkap dari pemberi wawancara, yang bisa memilih seberapa panjang dan bagaimana isi jawabannya. Pertanyaan terbuka ini mengundang kerjasama dan partisipasi dari pemberi wawancara. Pemberi wawancara yang menjawab pertanyaan-pertanyaan terbuka mungkin juga bersedia memberi informasi lebih jauh dengan sukarela. Jawaban pertanyaan terbuka, selain lebih spekulatif, juga akan mencerminkan kepribadian pemberi wawancara.


Sedangkan pertanyaan tertutup berusaha mengarahkan pemberi wawancara ke jawaban yang spesifik. Misalnya, “Apakah Anda merasa gembira atau sedih dengan terungkapnya kasus kebocoran limbah pabrik ini?” atau “Berapa kali kebocoran tangki penyimpan limbah ini pernah terjadi sebelumnya?” Dengan pertanyaan semacam ini, pewawancara mengisyaratkan sebuah pilihan atau harapan bagi kesimpulan yang bisa dikuantifikasikan (diukur secara numerik).


Pertanyaan tertutup dapat menghemat waktu karena lebih spesifik. Pertanyaan semacam ini biasanya menghasilkan jawaban-jawaban pendek, lebih berjarak dari pemberi wawancara, dan kurang memberi peluang partisipasi. Pertanyaan tertutup berguna untuk memperoleh informasi faktual. Informasi presisi itu merupakan hasil dari pertanyaan yang bisa dikuantifikasikan, yang dapat memberikan angka spesifik atau statistik yang otoritatif dan dapat digunakan dalam penulisan.

Pewawancara, yang membutuhkan anekdot untuk tulisan tentang profil seseorang, akan lebih berhasil jika menggunakan pertanyaan-pertanyaan terbuka. Wawancara memang akan berlangsung lebih lama, namun pemberi wawancara akan merasa lebih percaya dan lebih bersedia memberikan anekdot khas dan pengamatannya.


Sedangkan wawancara dengan pertanyaan-pertanyaan tertutup lebih cocok untuk penulisan berita yang cepat atau untuk situasi di mana wartawan membutuhkan jawaban spesifik pada periode waktu yang singkat. Pewawancara yang baik dapat mengkombinasikan pertanyaan-pertanyaan terbuka dan tertutup, untuk membuat tulisan dengan rincian spesifik, tetapi juga diwarnai oleh anekdot pemberi wawancara.

Sifat Wawancara


Di dalam lingkungan pers internasional dikenal wawancara yang sifatnya berbeda-beda. Antara lain:
On the Record. Nama dan jabatan pemberi wawancara dapat digunakan sebagai sumber, dan keterangannya boleh dikutip langsung serta dimuat di media massa. Ini adalah bentuk wawancara yang terbaik dan paling umum dilakukan di media massa.

Off the Record. Pemberi wawancara tidak dapat digunakan sebagai sumber dan keterangannya sama sekali tidak boleh dimuat di media massa. Jurnalis harus berusaha keras menghindari situasi seperti ini.


Background. Boleh menggunakan kutipan langsung atau menyiarkan keterangan apapun yang diberikan, tetapi tanpa menyebutkan nama dan jabatan pemberi wawancara sebagai sumbernya. Misalnya, digunakan istilah “menurut sumber di departemen/badan...” menurut persyaratan yang disepakati dengan pemberi wawancara. Kadang-kadang disebut juga “not for attribution”.


Deep Background. Informasi bisa dimuat, tetapi tidak boleh menggunakan kutipan langsung atau menyebut nama, jabatan, dan instansi pemberi wawancara.


Reporter harus memberitahu redaktur tentang sifat wawancara yang dilakukannya. Apapun bentuk kesepakatan yang telah dicapai dengan pemberi wawancara, itu harus dihormati dan terwujud dalam pemberitaan. Kalau pemberi wawancara tidak ingin disebut namna dan jabatannya, misalnya, nama dan jabatannya itu tegas tidak boleh dimuat. Redaktur perlu diberitahu karena begitu berita hasil wawancara itu dimuat, tanggung jawab atas isi berita tidak lagi terletak di pundak reporter, tetapi menjadi tanggungjawab institusi media bersangkutan.

Meskipun pemberi wawancara berhak menyembunyikan identitasnya, wartawan sedapat mungkin harus meyakinkan pemberi wawancara agar bersedia disebutkan identitasnya. Sebab, apabila terlalu banyak sumber berita yang tidak jelas identitasnya, kredibilitas wartawan dipertaruhkan. Tingkat kepercayaan pembaca terhadap isi tulisannya juga semakin besar, seolah-olah isi tulisan itu hanya berdasarkan gosip, isu, kabar angin atau bahkan “karangan” wartawan belaka.

Keraguan ini muncul bisa jadi karena adanya praktek pelanggaran kode etik yang dilakukan sejumlah wartawan Indonesia. Misalnya, sejumlah artis mengeluh karena ditulis begini dan begitu, padahal artis ini tidak merasa pernah diwawancarai wartawan bersangkutan. Namun karena posisi artis yang sangat membutuhkan publisitas dan dukungan media massa, para artis ini tidak mau ribut-ribut ke Dewan Pers atau pengadilan mengadukan masalahnya.



Referensi:


Biagi, Shirley (1986). Interviews That Works: A Practical Guide for Journalists. Belmont, California: Wadsworth Publishing Company.


Gil, Generoso J. (1993). Wartawan Asia: Penuntun Mengenai Teknik Membuat Berita. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.


Pakpahan, Roy (ed.) (1998). Penuntun Program Jurnalistik Terpadu Bagi Kalangan LSM. Jakarta: INPI-Pact-SMPI.


Reddick, Randy, dan Elliot King (1996). Internet untuk Wartawan. Internet untuk Semua Orang. (Penerjemah: Masri Maris). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar